December 11, 2018

Tentang Proses Sebelum Proses Menuju Pernikahan


Tulisan ini adalah refleksi perjalanan selama beberapa tahun terakhir, utamanya tiga tahun belakangan ini, yang (sesuai dengan judulnya) merupakan proses yang saya lalui sebelum proses menuju pernikahan. Di samping pengalaman pribadi, tulisan ini juga merupakan refleksi saya atas pengalaman atau cerita dari orang lain. Saya percaya setiap orang memiliki proses masing-masing sebelum pada akhirnya sampai pada satu titik dimana ia memilih atau bersedia untuk menjadi teman hidup seseorang. Dalam proses yang saya jalani, ada beberapa hal yang saya pelajari dan saya renungkan maknanya secara mendalam:

Menikah itu panggilan hati. Tidak usah memaksa orang-orang yang belum terpanggil untuk menikah. Dalam agama saja tidak ada paksaan, apalagi untuk menikah. Kembali lagi ke prinsip bahwa setiap orang memiliki proses masing-masing, jadi cara Allah memanggil yang satu dengan yang lainnya itu berbeda-beda. Kalau terpaksa, malah lebih berpotensi untuk lari dari tanggung jawab dan menyalahkan situasi atau orang lain setelah menikah.

Menerima pribadi yang utuh. Iya, ini tentang belajar menerima seseorang secara keseluruhan. Ketika dipuji netijen di media sosial atau ketika sangat menyebalkan karena tekanan kerjaan, terima saja dengan lapang dada. Namun ada yang lebih penting, belajar menerima diri sendiri sebagai pribadi yang utuh. Harga diri itu bergantung pada bagaimana kita melihat diri kita dan menerima hidup yang kita jalani.

Be the best version of you. Berkaitan dengan poin di atas, terus perbaiki diri dan maksimalkan potensi yang dimiliki. Sekali lagi, jadilah versi terbaik dari dirimu. Kamu, k-a-m-u. Tidak perlu menjadi orang lain supaya bisa disukai. Mempelajari atau mencoba apa yang diminati oleh potential partner itu tidak salah. Tapi kalau sampai terus memaksakan diri till you lost yourself, come on... Ada hidup yang harus diperjuangkan, mimpi-mimpi yang layak digapai.

Berusaha menjadi orang baik. Ini pesan orang tua saya, "Dengan siapapun kamu memutuskan untuk menjalani hidup nanti, yang penting jadilah orang yang baik." Selaras dengan yang dikatakan oleh Mbak Nadia (Maaf ya kusebut namamu, Mbak. Haha.), "Pasangan itu tidak lantas menentukan baik atau tidaknya seseorang. Kita tahu Firaun seperti apa, tapi istrinya mendapat jaminan surga." Jadi mau dengan siapapun, terus saja berusaha untuk menjadi sebaik-baik manusia.

Memiliki visi hidup dan rencana berkeluarga. Seperti apa kita melihat diri kita sendiri di masa mendatang? Ingin menjadi pasangan dan orang tua yang bagaimana? Keluarga seperti apa yang ingin dibangun? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut direnungkan dan akan membantu dalam menyusun langkah-langkah, termasuk dalam memilih pasangan. Jadi kalau masih bingung memilih, barangkali perlu lebih jauh lagi mengenali diri sendiri dan menyelami rencana ke depan.

Berdamai dengan ketidakpastian. Kemampuan yang satu ini juga penting untuk dimiliki. Punya visi dan rencana itu tidak sama dengan menawarkan kepastian, karena ketidakpastian adalah suatu keniscayaan dalam hidup. Embrace it. Memutuskan untuk menjalani hidup dengan seseorang (baca: pasangan) berarti siap juga untuk membersamai ketika ada kejutan-kejutan, yang bisa jadi menyenangkan atau kurang menyenangkan.

Menunggu adalah pilihan. Ada makna yang berbeda ketika menunggu karena memilih untuk itu. Memilih untuk menunggu berarti mengambil keputusan tersebut secara sadar dan sudah melalui pertimbangan hati dan akal. Pada setiap pilihan yang diambil, pasti ada opsi-opsi lain yang dikorbankan dan ada konsekuensi yang diambil. Kalau menunggu karena mentok itu lain cerita ya, gaes. Minimal jadikan move on sebagai pilihan lah, jangan nyesek-nyesek amat.

Punya keyakinan yang sama. Pernah dengar guyonan "Cari yang satu keyakinan, jangan kamu yakin sama dia tapi dia tidak yakin sama kamu"? Sekilas memang terdengar hanya lelucon saja, tapi kalau dimaknai lebih jauh hal itu benar adanya. Penting untuk percaya pada calon pasangan dan memiliki keyakinan yang sama-sama kuat akan hubungan yang dibangun. Kalau tidak demikian, rapuh lah fondasi yang ada.

Jujur pada perasaan tanpa mengabaikan akal. Saya butuh waktu tahunan untuk bisa sampai ke titik ini, menyeimbangkan perasaan dan akal. Harus melalui proses demi proses, naik-turunnya perasaan, pikiran-pikiran yang bergulat sendiri di kepala, air mata yang entah berapa ember (I mean it, ember kecil lah paling tidak). Bagi saya, menikah dengan Si Mas (Jangan tanya mas yang mana. Masih mencari ilham. Thanks.) adalah keputusan hati dan akal. Jadi, proses ini adalah sesuatu yang krusial.

Melibatkan Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Menikah itu ibadah. Mulai dari niat, proses menuju ke sana, prosesi ketika mengucap janji, hingga menjalaninya nanti, sebisa mungkin tidak lupa untuk menyertakan Allah yang sudah memasangkan. Ini sulit, sungguh, apalagi buat saya. Huhu. Makanya saya berharap menikah bisa jadi jalan untuk saling mengingatkan juga. Anyway... Sekuat apapun doa, sekeras apapun usaha, segigih apapun penantian dalam proses yang saya jalani. Saya percaya bahwa takdir yang terbaik adalah takdir yang bertemu dengan kehendak-Nya.


n.b. Ditulis dengan iringan lagu Hivi! yang membawa nuansa khusus. Tsah.

October 14, 2018

Tentang Jeda

Hidup sejatinya adalah perjalanan demi perjalanan, dan waktu-waktu yang lalu saya mendorong diri untuk terus berjalan apapun yang terjadi. Saya berkata pada diri saya bahwa ini akan selesai. Sebentar lagi, sedikit lagi. Sekarang perjalanan terasa berbeda. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Melelahkan. Garis akhir yang diyakini ada, sekarang entah dimana letaknya. Ya sudah, toh hidup itu tentang perjalanannya. Perkara hasil adalah urusan Dia.

Namun dikatakan atau tidak dikatakan, lelah tetaplah lelah. Halah! 

Lalu bagaimana? Jeda. Berhenti sejenak di suatu titik untuk sekadar menunggu. 
Bagaimana dengan yang lewat? Biarkan saja terus berjalan.
Merelakan waktu dan kesempatan yang datang? Ada pengorbanan dalam setiap pilihan.
Sampai kapan? Ada batas waktunya. Jeda hanya sementara, bukan selamanya.
Jeda dan hanya menunggu? Menunggu jelas membosankan jika tidak diisi dengan aktivitas lain.

Kalau kata Teh Pepew (Febrianti Almeera) di salah satu kelas yang saya ikuti, "Tidak akan bisa membenahi apapun, orang yang tidak membenahi dirinya sendiri terlebih dahulu." Jeda untuk berbenah itu perlu, sebelum mengambil langkah dan berjalan lebih jauh. Jeda untuk menikmati apa-apa yang ada di titik tempat berhenti. Jeda untuk mencerna pesan-pesan yang dikirimkan oleh semesta. Sekarang biarlah saya memilih untuk tidak memilih opsi-opsi lain, karena saya memilih untuk berjeda saja.

September 19, 2018

Tentang Kecemasan

Sekitar dua bulan lebih satu minggu tinggal di Negeri Kanguru, ada banyak hal baru yang ditemui. Lingkungan baru, teman baru, sistem baru, pengalaman baru, pelajaran baru, dan lainnya. Ada kegembiraan tersendiri yang dirasakan ketika menemui hal-hal baru di sini, tetapi ternyata kegembiraan itu tidak datang sendiri. Ia datang bersama perasaan lainnya, kecemasan. Perasaan yang biasanya disimpan dan ditekan. Kali ini berbeda. Kecemasan itu tersimpan, terpendam, dan melawan. Semakin ditekan, ia semakin menjadi. Ada masanya seseorang yang biasa menyimpan dan menekan kecemasan akan tersadar bahwa kecemasan itu harus diterima dengan lapang, seperti perasaan-perasaan lainnya. Tidak perlu ditekan karena perasaan itu sudah sangat tertekan, ia hanya perlu diterima dan diajak bicara. Iya, ini bagian dari pengalaman saya di tengah segala kegembiraan yang ada.

Satu-dua minggu berlalu sejak saya tersadar bahwa ada perasaan tidak nyaman yang mengiringi saya. Hal yang sedikit-banyak mengganggu hari-hari saya, dan dikhawatirkan akan mengganggu performa saya. Sampai pada suatu hari saya coba mengisi tes online untuk mengukur tingkat kecemasan saya. Perasaan tidak nyaman itu ada banyak bentuk dan sebabnya, jadi alasan utamanya tidak selalu kecemasan. Refleksi diri akan membantu untuk identifikasi awal, sebelum memutuskan untuk mengambil tes tertentu atau berkonsultasi dengan ahli. Hasil tes online saya tidak terlalu baik, maka saya memutuskan untuk meneruskan hasil tersebut ke seorang psikolog. Saya diminta untuk mengisi lembar lain yang ia berikan, karena validitas tes online yang saya ambil diragukan. Hasilnya? Kecemasan tingkat berat. Terkejut? Tidak.

Bagi saya, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Memahami gejala mental yang terganggu itu sama pentingnya dengan memahami gejala fisik yang terganggu. Orang yang mentalnya terganggu tidak hanya ia yang memiliki masalah kejiwaan berat yang membuatnya harus mendapatkan penanganan khusus dari psikiater/psikolog (dua profesi ini berbeda ya kapasitasnya). Masalah kejiwaan itu bukan sesuatu yang tiba-tiba datang dan parah. Yang terjadi pada banyak kasus adalah gejala-gejala yang muncul tidak dipahami atau diabaikan sehingga baru disadari dan ditangani ketika sudah parah. Yang terjadi pada saya pun demikian, kecemasan yang saya alami tentu tidak serta-merta mencapai tingkat berat. Ada proses serta penyebab-penyebabnya, dan tentu saja harus dibicarakan dengan ahlinya agar tidak semakin parah. Jika saya tidak menyadari hal tersebut, saya mungkin akan menganggap diri saya 'baik-baik saja'. Well, it's okay if we have mental health issue(s). Because we may not see the issue(s), it doesn't mean that we have no issue. So, please be aware of your mental health condition. :)

Hari-hari terasa sangat tidak mudah ketika diiringi oleh kecemasan tingkat berat. Dihadapkan pada deadline pengumpulan tugas dengan proporsi nilai yang lumayan, saya butuh usaha lebih untuk bisa konsentrasi, bertahan, dan menyelesaikannya. Kesehatan fisik saya terpengaruh cukup signifikan waktu itu. Selepas hari pengumpulan tugas, saya memutuskan untuk berbicara pada psikolog tentang apa yang terjadi. When you face a mental health issue which bothers you, talk to someone who can help. Saya merasa jauh lebih baik setelah menjalani satu sesi dengan psikolog. Even one session could help that much. Saya belajar untuk tidak menekan atau melawan kecemasan yang saya alami, menerima perasaan itu sebagai bagian dari fase hidup yang saya jalani, mengendalikan pikiran-pikiran negatif atau overthinking, dan melakukan hal-hal yang membuat saya lebih rileks. Satu minggu kemudian level kecemasan saya turun menjadi moderat, dan satu minggu setelahnya saya sudah kembali normal. Life feels so good.

Jadi kalau kecemasan menghampiri, biarkan ia datang dan terima saja sebagai bagian dari apa yang sedang kita jalani. If you're having anxiety now, you're not alone. If you find someone who is struggling, saying "hi" and "how are you?" won't hurt anybody. Kita hanya perlu lebih santai atau lebih berani dalam menjalaninya. Seperti kata Paulo Coelho, "Be brave. Take Risks. Nothing can substitute experience."

First trip in Australia. Lake Mountain, 11 July 2018.

July 18, 2018

Tentang Skripsi

Di malam yang masuk angin ini, saya hendak sedikit nostalgia sekaligus menyemangati diri sendiri. Kembali ke masa tiga atau empat tahun yang lalu, ketika masih menyandang status mahasiswa S-1. Selayaknya mayoritas mahasiswa tingkat akhir di Indonesia, saya harus membuat skripsi sebagai penutup perjalanan studi. Saya menghabiskan waktu sekitar satu tahun untuk menyelesaikannya. Untuk ukuran mahasiswa HI UGM, satu tahun itu terhitung agak lama. Sudah pasti ada hal-hal yang terjadi dalam prosesnya.

Saya mengangkat fenomena e-commerce di Tiongkok. Ide awalnya datang dari teman saya yang memang orang sana. Dia berbagi cerita tentang luar biasanya hari belanja online di sana dan mendorong saya untuk menulis topik terkait. Mulailah saya menulis abstrak dan mengajukan diri untuk dibimbing oleh dosen yang menurut saya tepat (secara keilmuan, kepribadian, dan/atau gaya kerja). Ini starting point yang ternyata penting, memilih topik yang disukai dan dosen pembimbing yang cocok. Tanpa dua itu, mungkin skripsi saya selesai lebih lama.

Setelah resmi menjadi mahasiswa bimbingan Dr. Nanang Pamuji Mugasejati, saya pun menulis draf proposal skripsi. Saya masih ingat kata-kata Pak Nanang ketika saya mengajukan draf awal, "Kamu mahasiswa sini (Fisipol) kan, Mbak? Bukan fakultas sebelah (FEB)?" Draf awal saya terlalu "ekonomi" sampai harus diluruskan oleh si bapak. Hahaha. Singkatnya, dengan bantuan Pak Nanang akhirnya saya bisa mengupas topik e-commerce dari perspektif HI. Barulah itu pula saya tahu ada yang namanya konsep entrepreneurial state.

Saya memilih untuk menulis topik mutakhir dengan landasan konseptual yang tergolong mutakhir juga. Waktu itu pikiran saya kurang-lebih ingin menulis hal yang sedang naik dan akan jadi tren (Pada masa itu ya. Sekarang apa yang terjadi? Benar jadi tren?) tetapi belum banyak dikaji dari perspektif HI. Siapa tahu besok-besok ada yang baca dan bisa bermanfaat kan? Dengan segenap kemampuan yang saya miliki, saya pun menulis skripsi yang baik. Konon katanya skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai, jadi skripsi saya baik ya karena selesai. Hahaha.

Satu tahun. Sejujur-jujurnya waktu efektif pengerjaan tidak selama itu, hanya butuh beberapa bulan saja. Lalu apa yang membuat jadi lama? Karena hal-hal lain yang saya lakukan. Satu, saya "setel kendor" alias chilling out. Saya perbanyak main. Rasa-rasanya hidup terlalu serius dengan urusan akademis-organisasi-asrama sebelumnya. Dua, saya eksplorasi apa yang akan saya lakukan setelah kuliah. Bagi saya ketika itu, yang lebih menakutkan dari skripsi adalah lulus tapi tidak ada bayangan mau bagaimana setelahnya. Saya cari opsi-opsi, susun rencana, bahkan ada beberapa yang sampai eksekusi juga. Hingga kemudian saya sadar kalau kaki saya melangkah tetapi tangan saya masih berpegang pada skripsi yang belum usai. Lanjut menulis jadi prioritas.


Awal tahun 2015, saya menyelesaikan draf skripsi dan melewati sidang pendadaran. Selesai, sarjana sudah. Tiga tahun lebih berselang, saya kembali menjadi mahasiswa. Pak Nanang mungkin semacam cenayang karena sekarang saya benar-benar kuliah di "fakultas sebelah". Tahun ini belajar penulisan akademis lagi, mulai dari nol lagi. Tahun ini juga muncul hal yang tidak saya sangka: Skripsi saya benar-benar ada yang baca, bahkan sampai jadi bagian dari salah satu buku. Haru. Ada baiknya memang kalau mengerjakan tugas akhir itu tidak hanya untuk mendapat gelar, tetapi diniatkan juga supaya memberi manfaat yang lebih luas. Barangkali besok atau lusa jadi nyata bukan?


June 14, 2018

Tentang "Kapan Nikah?"

Esok lebaran. Tibalah waktu untuk kembali berkumpul dengan sanak saudara dan kawan-kawan. Momen yang ditunggu oleh sebagian orang, tetapi juga meresahkan sebagiannya. Bertemu dengan mereka yang mungkin saja atau hampir pasti disertai dengan pertanyaan yang menjadi momok. Sama halnya dengan kue lebaran, pertanyaan lebaran pun beragam varian dan rasanya. Mulai dari "Kapan lulus?" "Mana calonnya?" "Kapan nikah?" "Sudah 'isi' belum?" sampai tidak terhingga. Pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan adalah beberapa contoh pertanyaan umum yang kadang menimbulkan pertentangan, minimal pertentangan batin si penerima pertanyaan.

Pertanyaan semacam itu konon bisa mengganggu suasana lebaran karena menjemukan atau bahkan sampai menekan batin. Teman saya sempat update #2018gantipertanyaan di Instagram dan yang lainnya sempat menceletuk kira-kira apa ya jawaban untuk pertanyaan seputar jodoh pas lebaran. No worries, I'm by your side. Saya termasuk #timkapankapan alias yang kemungkinan besar akan ditanya kapan ini atau kapan itu. Saya pun merasa jemunya, bahkan pernah sampai muak jua. Huhuhu. Ganti pertanyaan tentu merupakan opsi, bagi mereka yang bertanya. Lalu, bagaimana dengan yang ditanya?


Yang ditanya belum tentu lebih baik dari yang bertanya. Maksud saya adalah kita juga harus memerhatikan bagaimana kita merespon pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jangan sampai kita justru menyakiti yang bertanya. Saya bilang begini karena saya pernah menganggap hal itu adalah ofensif dan menanggapi dengan kata atau sikap yang kalau saya pikir-pikir lagi kurang mengenakkan, padahal mungkin maksud yang bertanya baik: sekadar ingin menunjukkan perhatian dan mengingatkan. Penting untuk kita memerhatikan cara kita memproses suatu pertanyaan. Pertanyaan yang halus sekalipun bisa jadi ofensif jika kita memprosesnya demikian dan itu memengaruhi respon kita atasnya. Coba deh kalau pertanyaan "Kapan nikah?" itu diganti "Kapan hafal Al-Qur'an?", bagaimana oh bagaimana diri kan menjawabnya?

Apapun pertanyaannya, tidak perlu lah serta-merta menjadi defensif. Don't let their words sadden us as well. Each of us is struggling in different way, which they may not see. Senyumin aja dulu, Lur. Jawab dengan asik atau humor lhaaa, atau balik minta didoakan saja. Semoga setiap lebaran, hati kita ikut lebaran ya. Mohon maaf lahir dan batin. :)

Tentang Membentangkan Jarak

Pada suatu hari salah seorang sahabat berpetuah, "Jarak akan membuat semua menjadi lebih nyata. Hati bertambah peka, rasa semakin kuat." Di hari yang lain sahabat lainnya mengamini petuah tersebut, "Dia sudah mengalaminya dan aku saat ini sedang mengalaminya." Dalam hidup ini, memang ada hal-hal yang kadang sulit ditelaah dengan logika atau dipahami dengan metode matematis. Mungkin ini salah satunya, hubungan antara jarak, intensitas interaksi dan perasaan. Hal yang kadang berbanding lurus, tetapi tidak jarang pula berbanding terbalik.

Bagaimana jika kita coba renungkan bersama petuah tadi? Apakah perbedaan tempat justru membuat kita semakin dekat? Apakah selama ini kita terlalu sibuk sendiri hingga melewatkan apa yang terjadi? Apakah waktu kita habis untuk menerka-nerka hingga lupa untuk saling bertegur sapa? Apakah fokus kita teramat tinggi untuk menciptakan momen yang sempurna hingga selalu ragu untuk mencoba? Apakah kita selalu bertanya-tanya hingga lalai bersyukur bahwa masih diberi rasa? Bagaimana jika kita coba rasakan saja petuah tadi?

Merasa... Tanpa bertanya...

Allah mengerti bahwa kita butuh ruang untuk sendiri. Menjalani hari demi hari hingga kita menyadari apa yang disebut dengan arti. Allah tentu yang paling tahu. Ia memberikan waktu untuk menjawab rasa ragu. Allah menghadirkan sepi agar kita terdorong untuk menemukan tempat kembali. Bertemu lalu kemudian bersatu, cinta tidak sesederhana itu. Nilainya bertambah seiring dengan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan. Jika kita sepakat bahwa cinta seperti itu tidak mudah didapat, maka kita pun yakin apa yang sedang kita jalani akan membawa kita semakin dekat.


n.b. Ditulis pada caturwulan akhir 2016

June 7, 2018

Tentang Memulai Kembali

"Aku mencari. Aku berjalan. Aku menunggu. Aku melangkah pergi."
 
Begitu kata Mbak Monita, dan tulisan ini dibuat beriringan dengan suara lembutnya. Judul tulisan ini pun sesuai dengan judul lagunya, "Memulai Kembali". Barangkali karena keduanya memang bersesuaian. Ketika awal-awal mendengarkan, lagu Mbak Monita yang satu itu tidak terlalu mengena untuk saya. Hanya lewat di telinga saja, tidak sampai ke hati. Namun, tampaknya suatu lagu akan jadi mudah dihayati ketika bersesuaian dengan pengalaman yang mendengarkan. Seperti sekarang.

Saya memutuskan untuk menulis kembali di blog ini, tetapi terlebih dahulu menutup tulisan-tulisan sebelumnya dan mengganti beberapa hal. Bukan dalam rangka melupakan yang lalu-lalu, toh tulisan lama masih saya simpan buat kenang-kenangan. Hahaha. Saya hanya ingin memulai kembali dengan lembaran baru. Konten dan konsep diperbaiki supaya ke depannya lebih baik dan berfaedah. Belajar dari yang lalu-lalu, untuk karya dengan kualitas yang meningkat di masa mendatang.

Hidup juga demikian. Ada kala dimana kita harus membuka lembaran baru. Alasannya tidak selalu untuk menyudahi apa yang ada di lembaran sebelumnya. Ketika lembaran yang ada sudah penuh terisi, kita pun harus membuka yang baru untuk melanjutkan yang sebelumnya. Memaksa terus mengisi lembaran yang sama hanya akan menjadikan lembaran tersebut semakin penuh dan lama-lama malah bisa ruwet. We need to take a break or pause, look back and gather lessons, then open new page and fill it again.
 
Jadi, saya memulai kembali.