July 18, 2018

Tentang Skripsi

Di malam yang masuk angin ini, saya hendak sedikit nostalgia sekaligus menyemangati diri sendiri. Kembali ke masa tiga atau empat tahun yang lalu, ketika masih menyandang status mahasiswa S-1. Selayaknya mayoritas mahasiswa tingkat akhir di Indonesia, saya harus membuat skripsi sebagai penutup perjalanan studi. Saya menghabiskan waktu sekitar satu tahun untuk menyelesaikannya. Untuk ukuran mahasiswa HI UGM, satu tahun itu terhitung agak lama. Sudah pasti ada hal-hal yang terjadi dalam prosesnya.

Saya mengangkat fenomena e-commerce di Tiongkok. Ide awalnya datang dari teman saya yang memang orang sana. Dia berbagi cerita tentang luar biasanya hari belanja online di sana dan mendorong saya untuk menulis topik terkait. Mulailah saya menulis abstrak dan mengajukan diri untuk dibimbing oleh dosen yang menurut saya tepat (secara keilmuan, kepribadian, dan/atau gaya kerja). Ini starting point yang ternyata penting, memilih topik yang disukai dan dosen pembimbing yang cocok. Tanpa dua itu, mungkin skripsi saya selesai lebih lama.

Setelah resmi menjadi mahasiswa bimbingan Dr. Nanang Pamuji Mugasejati, saya pun menulis draf proposal skripsi. Saya masih ingat kata-kata Pak Nanang ketika saya mengajukan draf awal, "Kamu mahasiswa sini (Fisipol) kan, Mbak? Bukan fakultas sebelah (FEB)?" Draf awal saya terlalu "ekonomi" sampai harus diluruskan oleh si bapak. Hahaha. Singkatnya, dengan bantuan Pak Nanang akhirnya saya bisa mengupas topik e-commerce dari perspektif HI. Barulah itu pula saya tahu ada yang namanya konsep entrepreneurial state.

Saya memilih untuk menulis topik mutakhir dengan landasan konseptual yang tergolong mutakhir juga. Waktu itu pikiran saya kurang-lebih ingin menulis hal yang sedang naik dan akan jadi tren (Pada masa itu ya. Sekarang apa yang terjadi? Benar jadi tren?) tetapi belum banyak dikaji dari perspektif HI. Siapa tahu besok-besok ada yang baca dan bisa bermanfaat kan? Dengan segenap kemampuan yang saya miliki, saya pun menulis skripsi yang baik. Konon katanya skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai, jadi skripsi saya baik ya karena selesai. Hahaha.

Satu tahun. Sejujur-jujurnya waktu efektif pengerjaan tidak selama itu, hanya butuh beberapa bulan saja. Lalu apa yang membuat jadi lama? Karena hal-hal lain yang saya lakukan. Satu, saya "setel kendor" alias chilling out. Saya perbanyak main. Rasa-rasanya hidup terlalu serius dengan urusan akademis-organisasi-asrama sebelumnya. Dua, saya eksplorasi apa yang akan saya lakukan setelah kuliah. Bagi saya ketika itu, yang lebih menakutkan dari skripsi adalah lulus tapi tidak ada bayangan mau bagaimana setelahnya. Saya cari opsi-opsi, susun rencana, bahkan ada beberapa yang sampai eksekusi juga. Hingga kemudian saya sadar kalau kaki saya melangkah tetapi tangan saya masih berpegang pada skripsi yang belum usai. Lanjut menulis jadi prioritas.


Awal tahun 2015, saya menyelesaikan draf skripsi dan melewati sidang pendadaran. Selesai, sarjana sudah. Tiga tahun lebih berselang, saya kembali menjadi mahasiswa. Pak Nanang mungkin semacam cenayang karena sekarang saya benar-benar kuliah di "fakultas sebelah". Tahun ini belajar penulisan akademis lagi, mulai dari nol lagi. Tahun ini juga muncul hal yang tidak saya sangka: Skripsi saya benar-benar ada yang baca, bahkan sampai jadi bagian dari salah satu buku. Haru. Ada baiknya memang kalau mengerjakan tugas akhir itu tidak hanya untuk mendapat gelar, tetapi diniatkan juga supaya memberi manfaat yang lebih luas. Barangkali besok atau lusa jadi nyata bukan?


No comments:

Post a Comment