June 14, 2018

Tentang "Kapan Nikah?"

Esok lebaran. Tibalah waktu untuk kembali berkumpul dengan sanak saudara dan kawan-kawan. Momen yang ditunggu oleh sebagian orang, tetapi juga meresahkan sebagiannya. Bertemu dengan mereka yang mungkin saja atau hampir pasti disertai dengan pertanyaan yang menjadi momok. Sama halnya dengan kue lebaran, pertanyaan lebaran pun beragam varian dan rasanya. Mulai dari "Kapan lulus?" "Mana calonnya?" "Kapan nikah?" "Sudah 'isi' belum?" sampai tidak terhingga. Pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan adalah beberapa contoh pertanyaan umum yang kadang menimbulkan pertentangan, minimal pertentangan batin si penerima pertanyaan.

Pertanyaan semacam itu konon bisa mengganggu suasana lebaran karena menjemukan atau bahkan sampai menekan batin. Teman saya sempat update #2018gantipertanyaan di Instagram dan yang lainnya sempat menceletuk kira-kira apa ya jawaban untuk pertanyaan seputar jodoh pas lebaran. No worries, I'm by your side. Saya termasuk #timkapankapan alias yang kemungkinan besar akan ditanya kapan ini atau kapan itu. Saya pun merasa jemunya, bahkan pernah sampai muak jua. Huhuhu. Ganti pertanyaan tentu merupakan opsi, bagi mereka yang bertanya. Lalu, bagaimana dengan yang ditanya?


Yang ditanya belum tentu lebih baik dari yang bertanya. Maksud saya adalah kita juga harus memerhatikan bagaimana kita merespon pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jangan sampai kita justru menyakiti yang bertanya. Saya bilang begini karena saya pernah menganggap hal itu adalah ofensif dan menanggapi dengan kata atau sikap yang kalau saya pikir-pikir lagi kurang mengenakkan, padahal mungkin maksud yang bertanya baik: sekadar ingin menunjukkan perhatian dan mengingatkan. Penting untuk kita memerhatikan cara kita memproses suatu pertanyaan. Pertanyaan yang halus sekalipun bisa jadi ofensif jika kita memprosesnya demikian dan itu memengaruhi respon kita atasnya. Coba deh kalau pertanyaan "Kapan nikah?" itu diganti "Kapan hafal Al-Qur'an?", bagaimana oh bagaimana diri kan menjawabnya?

Apapun pertanyaannya, tidak perlu lah serta-merta menjadi defensif. Don't let their words sadden us as well. Each of us is struggling in different way, which they may not see. Senyumin aja dulu, Lur. Jawab dengan asik atau humor lhaaa, atau balik minta didoakan saja. Semoga setiap lebaran, hati kita ikut lebaran ya. Mohon maaf lahir dan batin. :)

Tentang Membentangkan Jarak

Pada suatu hari salah seorang sahabat berpetuah, "Jarak akan membuat semua menjadi lebih nyata. Hati bertambah peka, rasa semakin kuat." Di hari yang lain sahabat lainnya mengamini petuah tersebut, "Dia sudah mengalaminya dan aku saat ini sedang mengalaminya." Dalam hidup ini, memang ada hal-hal yang kadang sulit ditelaah dengan logika atau dipahami dengan metode matematis. Mungkin ini salah satunya, hubungan antara jarak, intensitas interaksi dan perasaan. Hal yang kadang berbanding lurus, tetapi tidak jarang pula berbanding terbalik.

Bagaimana jika kita coba renungkan bersama petuah tadi? Apakah perbedaan tempat justru membuat kita semakin dekat? Apakah selama ini kita terlalu sibuk sendiri hingga melewatkan apa yang terjadi? Apakah waktu kita habis untuk menerka-nerka hingga lupa untuk saling bertegur sapa? Apakah fokus kita teramat tinggi untuk menciptakan momen yang sempurna hingga selalu ragu untuk mencoba? Apakah kita selalu bertanya-tanya hingga lalai bersyukur bahwa masih diberi rasa? Bagaimana jika kita coba rasakan saja petuah tadi?

Merasa... Tanpa bertanya...

Allah mengerti bahwa kita butuh ruang untuk sendiri. Menjalani hari demi hari hingga kita menyadari apa yang disebut dengan arti. Allah tentu yang paling tahu. Ia memberikan waktu untuk menjawab rasa ragu. Allah menghadirkan sepi agar kita terdorong untuk menemukan tempat kembali. Bertemu lalu kemudian bersatu, cinta tidak sesederhana itu. Nilainya bertambah seiring dengan perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan. Jika kita sepakat bahwa cinta seperti itu tidak mudah didapat, maka kita pun yakin apa yang sedang kita jalani akan membawa kita semakin dekat.


n.b. Ditulis pada caturwulan akhir 2016

June 7, 2018

Tentang Memulai Kembali

"Aku mencari. Aku berjalan. Aku menunggu. Aku melangkah pergi."
 
Begitu kata Mbak Monita, dan tulisan ini dibuat beriringan dengan suara lembutnya. Judul tulisan ini pun sesuai dengan judul lagunya, "Memulai Kembali". Barangkali karena keduanya memang bersesuaian. Ketika awal-awal mendengarkan, lagu Mbak Monita yang satu itu tidak terlalu mengena untuk saya. Hanya lewat di telinga saja, tidak sampai ke hati. Namun, tampaknya suatu lagu akan jadi mudah dihayati ketika bersesuaian dengan pengalaman yang mendengarkan. Seperti sekarang.

Saya memutuskan untuk menulis kembali di blog ini, tetapi terlebih dahulu menutup tulisan-tulisan sebelumnya dan mengganti beberapa hal. Bukan dalam rangka melupakan yang lalu-lalu, toh tulisan lama masih saya simpan buat kenang-kenangan. Hahaha. Saya hanya ingin memulai kembali dengan lembaran baru. Konten dan konsep diperbaiki supaya ke depannya lebih baik dan berfaedah. Belajar dari yang lalu-lalu, untuk karya dengan kualitas yang meningkat di masa mendatang.

Hidup juga demikian. Ada kala dimana kita harus membuka lembaran baru. Alasannya tidak selalu untuk menyudahi apa yang ada di lembaran sebelumnya. Ketika lembaran yang ada sudah penuh terisi, kita pun harus membuka yang baru untuk melanjutkan yang sebelumnya. Memaksa terus mengisi lembaran yang sama hanya akan menjadikan lembaran tersebut semakin penuh dan lama-lama malah bisa ruwet. We need to take a break or pause, look back and gather lessons, then open new page and fill it again.
 
Jadi, saya memulai kembali.